Biografi Grafi Gus Baha |
Kelahiran Gus Baha
Gus Baha atau KH. Ahmad Bahauddin Nursalim adalah putra Kiai Nur Salim dan
juga pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang. Kiai Nur Salim
adalah murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Pati.
Nasabnya bersambung kepada para ulama besar. Bersama Kiai Nur Salim inilah,
Gus Miek (KH Hamim Jazuli) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang
menyelenggarakan semaan Al-Qur’an secara keliling.
Jantiko kemudian berganti Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah
jadi Dzikrul Ghafilin. Kadang ketiganya disebut bersamaan: Jantiko-Mantab dan
Dzikrul Ghafilin.
Kiai kelahiran 1970 ini memilih Yogyakarta sebagai tempatnya memulai
pengembaraan ilmiahnya. Pada tahun 2003 ia menyewa rumah di Yogya. Kepindahan
ini diikuti oleh sejumlah santri yang ingin terus mengaji bersamanya.
Pendidikan Gus Baha
Gus Baha' kecil memulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan Al-Qur'an di
bawah asuhan ayahnya sendiri, KH Nursalim Al-Hafidz.
Hingga pada usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan Al-Qur'an
beserta Qiro'ahnya dengan lisensi yang ketat dari ayah beliau. Memang,
karakteristik bacaan dari murid-murid Mbah Arwani menerapkan keketatan dalam
tajwid dan makhorijul huruf.
Menginjak usia remaja, Kiai Nursalim menitipkan Gus Baha' untuk mondok dan
berkhidmat kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair diPondok Pesantren Al Anwar
Karangmangu,Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan.
Di Al Anwar inilah beliau terlihat sangat menonjol dalam fan-fan ilmu Syari'at
seperti Fiqih, Hadits dan Tafsir.
Hal ini terbukti dari beberapa amanat prestisius keilmiahan yang diemban oleh
beliau selama mondok di Al Anwar, seperti Rois Fathul Mu'in dan Ketua Ma'arif
di jajaran kepengurusan Pesantren Al Anwar.
Saat mondok di Al Anwar ini pula beliau mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim
lengkap dengan matan, rowi dan sanadnya. Selain Shohih Muslim beliau juga
mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Mu'in dan kitab-kitab gramatika arab
seperti 'Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik.
Menurut sebuah riwayat, dari sekian banyak hafalan beliau tersebut menjadikan
beliau sebagai santri pertama Al Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak
di era beliau.
Bahkan tiap-tiap musyawarah yang akan beliau ikuti akan serta merta ditolak
oleh kawan-kawannya, sebab beliau dianggap tidak berada pada level santri pada
umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan beliau.
Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga sosok santri yang dekat dengan
kiainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi guru beliau
Syaikhina Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan. Mulai dari sekedar
berbincang santai, hingga urusan mencari ta'bir dan menerima tamu-tamu
ulama'-ulama' besar yang berkunjung ke Al Anwar. Hingga beliau dijuluki
sebagai santri kesayangan Syaikhina Maimoen Zubair.
Baca Juga : Kumpulan Ceramah Gus Baha Terbaru
Pernah pada suatu ketika beliau dipanggil untuk mencarikan ta'bir tentang
suatu persoalan oleh Syaikhina. Karena saking cepatnya ta'bir itu ditemukan
tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina pun
terharu dan ngendikan "Iyo ha'... Koe pancen cerdas tenan" (Iya ha'... Kamu
memang benar-benar cerdas).
Selain itu Gus Baha' juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat
memberikan mawa'izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal.
"Santri tenan iku yo koyo baha' iku...." (Santri yang sebenarnya itu ya
seperti baha' itu....) begitu kurang lebih ngendikan Syaikhina.
Dalam riwayat pendidikan beliau, semenjak kecil hingga beliau mengasuh
pesantren warisan ayahnya sekarang, beliau hanya mengenyam pendidikan dari 2
pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan Pesantren Al
Anwar Karangmangu, Rembang.
Pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada beliau untuk mondok di Rushoifah
atau Yaman. Namun beliau lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat
kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi'iyyah PP. Al Anwar dan
pesantrennya sendiri LP3IA.
Pernikahan Gus Baha
Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di Sarang, beliau menikah dengan
seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik sehubungan dengan pernikahan beliau.
Diriwayatkan, setelah acara lamaran selesai, beliau menemui calon mertuanya
dan mengutarakan sesuatu yang menjadi kenangan beliau hingga kini. Beliau
mengutarakan bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yang glamor,
bahkan sangat sederhana.
Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berfikir ulang atas rencana
pernikahan tersebut. Tentu maksud beliau agar mertuanya tidak kecewa di
kemudian hari. Mertuanya hanya tersenyum dan menyatakan "klop" alias sami
mawon kalih kulo.
Kesederhanaan beliau ini dibuktikan saat beliau berangkat ke pesantren
Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan
waktunya. Beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus regular
alias bus biasa kelas ekonomi. Berangkat dari Pandangan menuju Surabaya,
selanjutnya disambung bus kedua menuju Pasuruan. Kesederhanaan beliau bukanlah
sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil.
Keakhlakan Gus Baha
Beliau hidup sederhana bukan karena keluarga beliau miskin. Dari silsilah
keluarga beliau dari pihak ibu, atau lebih tepatnya lingkungan keluarga di
mana beliau diasuh semenjak kecil, tiada satu keluargapun yang miskin.
Bahkan kakek beliau dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. Saat
dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaan beliau, beliau menyatakan
bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur'an yang dipegang erat sejak
zaman leluhurnya.
Bahkan salah satu wasiat dari ayahnya adalah agar beliau menghindari keinginan
untuk menjadi 'manusia mulia' dari pandangan keumuman makhluk atau
lingkungannya. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan
beliau sehari-hari.
Setelah menikah beliau mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya. Beliau
menetap di Yogyakarta sejak 2003. Selama di Yogya, beliau menyewa rumah untuk
ditempati keluarga kecil beliau, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.
Semenjak beliau hijrah ke Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di
Karangmangu yang merasa kehilangan induknya.
Hingga pada akhirnya mereka menyusul beliau ke Yogya dan urunan atau patungan
untuk menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk
tetap bisa mengaji kepada beliau.
Ada sekitar 5 atau 7 santri mutakhorijin Al Anwar maupun MGS yang ikut beliau
ke Yogya saat itu. Saat di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar
beliau yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau.
Pada tahun 2005 ayah beliau KH. Nursalim jatuh sakit. Beliau pulang sementara
waktu untuk ikut merawat ayah beliau bersama keempat saudaranya.
Namun siapa sangka, beberapa bulan kemudian Kiai Nursalim wafat. Gus Baha'
tidak dapat lagi meneruskan perjuangannya di Yogya sebab beliau diamanahi oleh
ayah beliau untuk melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di LP3IA Narukan.
Banyak yang merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Akhirnya para
santri beliaupun, sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya.
Hingga pada gilirannya beliau bersedia namun hanya satu bulan sekali, dan itu
berjalan hingga kini. Selain mengasuh pengajian, beliau juga mengabdikan
dirinya di Lembaga Tafsir Al-Qur'an Universitas Islam Indonesa (UII)
Yogyakarta.
Keilmuan Gus Baha
Selain Yogyakarta beliau juga diminta untuk mengasuh PengajianTafsir Al-Qur'an
di Bojonegoro, Jawa Timur. Di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro
minggu kedua setiap bulannya.
Hal ini beliau jalani secara rutin sejak 2006 hingga kini. Di UII beliau
adalah Ketua Tim Lajnah Mushaf UII.
Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur'an dari
seantero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof.
Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.
Suatu kali beliau ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, namun beliau
tidak berkenan. Dalam jagat Tafsir Al-Qur'an di Indonesia beliau termasuk
pendatang baru dan satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional yang
berlatar belakang pendidikan non formal dan non gelar.
Meski demikian, kealiman dan penguasaan keilmuan beliau sangat diakui oleh
para ahli tafsir nasional.
Hingga pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa
kedudukan beliau di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai Mufassir, juga
sebagai Mufassir Faqih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang
terkandung dalam Al-Qur'an. Setiap kali lajnah 'menggarap' tafsir dan Mushaf
Al-Qur'an,
Posisi beliau selalu di dua keahlian, yakni sebagai Mufassir seperti anggota
lajnah yang lain, juga sebagai Faqihul Qur'an yang mempunyai tugas khusus
mengurai kandungan fiqh dalam ayat-ayat ahkam Al-Qur'an.